Monday, November 21, 2016

Kasus Korupsi Artalyta Suryani


Artalyta Suryani alias Ayin adalah seorang pengusaha Indonesia yang dikenal karena keterlibatannya dalam kasus penyuapan jaksa kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Artalyta dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dan dijatuhi vonis 5 tahun penjara pada tanggal 29 Juli 2008 atas penyuapan terhadap Ketua Tim Jaksa Penyelidik Kasus BLBI Urip Tri Gunawan senilai 660.000 dolar AS. Kasus ini mendapat banyak perhatian karena melibatkan pejabat-pejabat dari kantor Kejaksaan Agung, dan menyebabkan mundur atau dipecatnya pejabat-pejabat negara. Kasus ini juga melibatkan penyadapan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan hasil penyadapan tersebut diputar di stasiun-stasiun televisi nasional Indonesia.

Artalyta ditangkap oleh petugas KPK pada awal Maret 2008, sehari setelah Urip Tri Gunawan tertangkap dengan uang 660.000 dolar AS di tangan. Urip adalah Ketua Tim Jaksa Penyelidik Kasus BLBI yang melibatkan pengusaha besar Sjamsul Nursalim. Kejaksaan menghentikan penyelidikan tersebut melalui Jaksa Agung Muda Kemas Yahya Rahman pada tanggal 29 Februari 2008. Percakapan antara Artalyta, Urip dan Kemas yang disadap oleh KPK menunjukkan adanya suap dan keterlibatan Artalyta dalam penghentian kasus BLBI tersebut. Dalam pengadilan Artalyta mengaku tidak bersalah, dan menyatakan uang tersebut merupakan bantuan untuk usaha bengkel Urip. Majelis Hakim menolak pengakuan tidak bersalah Artalyta, dan menilai perbuatan Artalyta telah mencederai penegakan hukum di Indonesia. Majelis Hakim juga menganggap kenyataan bahwa Artalyta tidak mengakui kesalahannya serta memberikan pernyataan yang berbelit-belit di pengadilan sebagai hal yang memberatkannya. Majelis Hakim menjatuhkan vonis penjara lima tahun serta denda 250 juta rupiah kepada Artalyta, sesuai tuntutan jaksa dan hukuman maksimal untuk penyuapan pejabat negara dalam undang-undang.













Sunday, November 20, 2016

Kasus Korupsi Izedrik Emir Moeis



Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menghukum politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Izedrik Emir Moeis dengan 3 tahun penjara dan denda Rp 150 juta subsider 3 bulan kurungan. Hakim menilai Emir terbukti menerima hadiah atau janji dari konsorsium Alstom Power Incorporate Amerika Serikat dan Marubeni Incorporate Jepang sebesar US$ 357 ribu saat menjabat Wakil Ketua Komisi Energi DPR.

"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa selama 3 tahun dan denda Rp 150 juta dengan ketentuan jika denda tak dibayar diganti kurungan selama 3 bulan," kata ketua majelis hakim Matheus Samiaji saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin, 14 April 2014.

Hukuman ini lebih ringan dibanding tuntutan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi. Sebelumnya, mereka meminta majelis menghukum mantan Ketua Komisi Keuangan DPR tersebut dengan pidana 4,5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 5 bulan kurungan.

Hakim menilai duit itu sebagai hadiah lantaran Emir mengupayakan konsorsium Alstom Power menjadi pemenang proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tarahan, Lampung, pada 2004. Hakim Sofialdi mengatakan agar menang dalam lelang proyek PLTU Tarahan tahun 2004, konsorsium Alstom menunjuk Presiden Pasific Resources Inc, Pirooz Muhammad Sarafi untuk mengurus proyek tersebut. Pirooz dianggap memiliki hubungan dengan pejabat di Indonesia serta menjadi teman Emir semasa menjadi mahasiswa di Amerika Serikat. Pirooz kemudian berusaha meminta bantuan Emir.

Emir, kata Sofialdi, dijanjikan mendapat bagian fee yang diterima deri Alstom setelah tender dimenangkan konsorsium Alstom Power. Pada 2005 dan 2006, menurut dia, Pirooz mendapat bayaran fee dari Alstom US$ 506.308 atau 1 persen dari nilai kontrak. Namun, tidak semuanya dikirim ke Emir. Uang tersebut beberapa kali dikirim ke Emir melalui rekening PT Artha Nusantara Utama untuk menyamarkan suap. Setelah uang dari Pirooz masuk ke PT ANU, Emir meminta Yuliansah Zulkarnain menyetorkan US$ 357 ribu ke rekeningnya di Bank Century.

Emir dan Alstom Power Inc beberapa kali bertemu untuk membahas pemenangan konsorsium Alstom Power Inc. Beberapa pertemuan itu dilakukan di Prancis dan Washington D.C., Amerika Serikat, pada Desember 2002 atas biaya Alstom. Konsorsium Alstom akhirnya diputuskan menjadi pemenang dalam pekerjaan dengan nilai kontrak US$ 117,281 ribu dan Rp 8,917 miliar tersebut pada 6 Mei 2004.

Dua anggota majelis hakim, yakni Afiantara dan Anas Mustakim memberikan pendapat beda dalam menghukum Emir. Afiantara dan Anas menilai Emir menerima duit US$ 423 ribu dolar. "Meskipun menerima duit, Emir tidak melakukan fungsi pengawasan sebagai anggota DPR untuk proyek Tarahan," ujar Afiantara.

Menanggapi putusan tersebut, Emir masih akan pikir-pikir. "Kami akan mempelajari putusan tadi secara rinci dan membahas dengan tim penasihat hukum," ujarnya. Jika pun banding, kata dia, bukan masalah jumlah hukumannya. "Tapi kedaulatan hukum yang lebih penting dari intervensi asing," ujar Emir.

Kasus Korupsi Brotoseno

Ajun Komisaris Besar Brotoseno, Eks penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi tersebut ditangkap Tim Sapu Bersih Pungutan Liar bekerjasama dengan Divisi Profesi dan Pengamanan Polri, lantaran terendus 'mengamankan' kasus sawah fiktif.
Brotoseno ditangkap dikediamannya, Jumat 11 November 2016. Uang senilai Rp 1,9 miliar disita sebagai barang bukti penyuapan.

Sementara, rekannya Kompol D ditangkap saat berada mes perwira Polri dengan barang bukti uang pecahan seratus ribu rupiah sekitar Rp 150 juta. Keduanya diduga menerima suap dari pengacara HR, salah satu pihak yang berperkara. Keduanya dijanjikan uang Rp 3 miliar, agar pemeriksaan terhadap klien HR berinisial DI tidak dilakukan terburu-buru.
Mereka terjaring operasi sapu bersih pungutan liar yang dibentuk Polri.
uang sebesar Rp 1,9 miliar yang telah diamankan Propam diberikan secara bertahap oleh HR kepada D dan Brotoseno. Berdasarkan pengakuan keduanya, uang tersebut diterima pada Oktober dan awal November 2016.

Brotoseno adalah perwira menengah aktif yang berdinas di Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Tipidkor) Bareskrim. Sementara DSY merupakan penyidik di Direktorat Tindak Pidana Umum (Tipidum).
Broto memang tengah disibukan menangani kasus dugaan korupsi cetak sawah. Sebuah proyek urunan perusahaan pelat merah yang saat itu dijabat Menteri BUMN Dahlan Iskan. Proyek yang berlangsung 2012-2014 ini menghabiskan 360 miliar. 


Bareskrim menetapkan mantan Direktur Utama PT Sang Hyang Seri, Upik Rosalina Wasrin sebagai tersangka. Sementara itu, nama Dahlan Iskan ikut terseret dalam pusara kasus tersebut. Dahlan sampai saat ini masih berstatus saksi.

Polri, Dalam pemeriksaan, baik AKBP Brotoseno maupun Kompol D sudah mengakui perbuatan mereka. 
Selain dua perwira menengah, dua orang yang diduga menyuap dan mengaku sebagai pengacara Dahlan Iskan juga ikut ditangkap. Sementara Dahlan, usai diperiksa di Polda Jatim membantah mengenal dua orang yang mengaku sebagai pengacaranya. Keempatnya ditahan terpisah. Alasannya agar keempat tersangka tidak melakukan pemufakatan di dalam sel yang sama.

Kasus penerimaan suap oleh dua perwira menengah Polri ini sudah masuk dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 pada 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Perkara tersebut kini sudah dilimpahkan ke Bareskrim Polri untuk disidik pidananya. Menurut Boy Rafli, hukuman berat menanti kedua pamen tersebut. Termasuk sanksi pemberhentian dengan tidak hormat sebagai anggota Polri. Boy mengatakan, setiap anggota Polri wajib menjaga dan meningkatkan citra Polri dan menjaga kehormatan polri.

Polisi menyita barang bukti uang suap sebesar Rp 2,9 miliar dalam kasus.
Rinciannya,  Rp 1,7 miliar disita dari tangan AKBP Brotoseno. Rp 150 juta dari Kompol DSY dan uang sebesar Rp 1,1 miliar dari perantara suap berinisial LMB. Kemudian ada juga bonggol kertas pengikat uang yang bertuliskan nama salah satu bank swasta nasional.

Kasus Brotoseno kembali menjadi ujian bagi Polri dalam menjalankan profesionalitasnya sebagai penegak hukum. Berkas Brotoseno yang juga penyidik di Dit Tipikor sudah berada di meja direktorat yang menaunginya. Tanpa pandang bulu, kasus tersebut harus berjalan hingga ke meja hijau.

Friday, November 18, 2016


Contoh Kasus Korupsi

Akil Mochtar
Kasus ini menjadi paling hangat karena kasusnya seolah-seolah meruntuhkan kekuatan hukum di Indonesia. Bagaimana tidak, posisinya sebagai ketua Mahkamah Konstitusi yang bisa disuap oleh tubagus dalam sengketa pilkada Lebak menjadikan masyarakat sudah berpresepsi jelek terhadap hukum yang ada di Indonesia. Artinya dari kepala desa sampai ketua MK bisa disuap dengan mudah. Yang lebih membuat kasus ini heboh adalah pernyataan Akil sendiri yang mengatakan bahwa koruptor harus dipotong jarinya, giliran dia yang korupsi paling hanya kuku dan rambut saja yang dipotong. Apalagi Akil ditangkap karena ketangkap basah menerima uang suap sebesar 1.000.000.000, otomatis ketua MK ini tidak bisa mengelak.

Korupsi Simulator SIM

Direktur PT Inovasi Teknologi Indonesia Sukotjo Sastronegoro Bambang dihukum empat tahun penjara setelah diadili.Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi mengadili Sukotjo dengan hukuman 4 tahun di penjara dan didenda Rp 200 juta subsider tiga bulan.

Salah dia adalah melakukan pengadaan driving simulator untuk mtor dan mobil pada Korps Lalu Lintas Polri tahun anggaran 2011. Ia telah mencuri Rp 121 miliar dari uang negara. Rp 3,9 miliar dalam perkara pengadaan driving simulator, direktur PT Citra Mandiri Metalindo Abadi sebesar Rp 88,4 juta, Inspektur Jenderal Djoko Susilo (Rp 32 miliar), Brigadir Jenderal Didik Purnomo (Rp 50 juta).

Ia harus membayar uang pengganti kerugian negara Rp 3,9 miliar. Sebelumnya, jaksa menuntutnya dihukum empat tahun enam bulan penjara dengan denda Rp 200 juta subsider enam bulan. Ia juga harus membayar kembali kerugian negara.
Kasus Reklamasi Pantai Jakarta, KPK Kembali Periksa Anggota DPRD

ANGGOTA Badan Legislasi Daerah DPRD DKI Jakarta Ongen Sangaji kembali diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi. Dia akan dimintai keterangan dalam kasus dugaan suap terkait rancangan peraturan daerah soal reklamasi Teluk Jakarta.

Ketua DPD Hanura DKI Jakarta itu pun sudah tiba di Gedung KPK pukul 09.50 WIB untuk memenuhi panggilan penyidik. Dia mengaku akan diminta keterangan untuk tersangka M Sanusi, ketua Komisi D DPRD DKI.

"Iya masih untuk MSN," kata Ongen di Gedung KPK, Jalan HR Rasuna Said, Setiabudi, Jakarta Selatan, Selasa (7/6).

Ongen pun enggan mengomentari soal materi pemeriksaan kali ini. Ketika dicecar apakah akan dikorek soal aliran suap dalam kasus ini, dia hanya berkilah.

"Saya belum tahu. Makanya saya ini dipanggil sebagai Balegda," papar dia sembari memasuki Lobi KPK.

KPK tak hanya memanggil Ongen. Tiga legislator DKI juga bakal diperiksa. Mereka adalah Hasbiallah Ilyas, Yuke Yurike, dan Bestari Barus.

"Mereka diperiksa untuk tersangka MSN," kata Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati.
Kasus terkait reklamasi Teluk Jakarta terbongkar ketika KPK mencokok Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta M Sanusi dan Personal Assistant PT Agung Podomoro Land Trinanda Prihantoro pada Kamis malam, 31 Maret 2016. Sanusi baru saja menerima uang dari Trinanda melalui seorang perantara.

Lembaga antikorupsi itu mengamankan uang sebesar Rp1,140 miliar yang diduga merupakan suap untuk Sanusi. Politikus Gerindra ini diketahui telah menerima sekitar Rp2 miliar dari PT APL secara bertahap.

Uang diduga sebagai suap terkait pembahasan raperda tentang rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Provinsi DKI Jakarta 2015-2035. Selain itu, fulus juga terkait raperda tentang rencana kawasan tata ruang kawasan strategis pantai Jakarta Utara.

KPK menetapkan tiga tersangka pada kasus ini. Mereka adalah M Sanusi, Trinanda, dan Presiden Direktur PT APL Ariesman Widjaja yang kini sudah mendekam dalam rumah tahanan.

Dalam menelusuri kasus ini, KPK terus-menerus memeriksa para saksi. Pada Selasa 10 Mei, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok diperiksa.

Saksi lain dari lingkungan Pemprov DKl yang sudah sempat dipanggil yakni Kepala Bappeda Tuti Kusumawati hingga Kepala BPKAD Heru Budi Hartono. Penyidik juga telah memeriksa Sunny Tanuwidjaja yang tak lain staf khusus Ahok bahkan KPK telah mencegahnya bepergian keluar negeri.

KPK juga memanggil beberapa saksi dari lingkungan DPRD. Mereka di antaranya, Ketua DPRD DKI Prasetyo Edi Marsudi, Wakil Ketua DPRD DKI M. Taufik, Wakil Ketua Balegda Merry Hotma, Anggota Balegda Muhammad Sangaji hingga Ketua Pansus Reklamasi Selamat Nurdin.

KPK juga memeriksa beberapa pengusaha yang terlibat dalam proyek reklamasi ini. Beberapa di antaranya, Chairman Agung Sedayu Group Sugianto Kusuma alias Aguan, dan CEO Pluit City Halim Kumala hingga Nono Sampono.

kasus korupsi Artalyta

KASUS KORUPSI YANG MELIBATKAN PEJABAT NEGARA

Artalyta Suryani alias Ayin adalah seorang pengusaha Indonesia yang dikenal karena keterlibatannya dalam kasus penyuapan jaksa kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Artalyta dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dan dijatuhi vonis 5 tahun penjara pada tanggal 29 Juli 2008 atas penyuapan terhadap Ketua Tim Jaksa Penyelidik Kasus BLBI Urip Tri Gunawan senilai 660.000 dolar AS. Kasus ini mendapat banyak perhatian karena melibatkan pejabat-pejabat dari kantor Kejaksaan Agung, dan menyebabkan mundur atau dipecatnya pejabat-pejabat negara.[1] Kasus ini juga melibatkan penyadapan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan hasil penyadapan tersebut diputar di stasiun-stasiun televisi nasional Indonesia.

Artalyta ditangkap oleh petugas KPK pada awal Maret 2008, sehari setelah Urip Tri Gunawan tertangkap dengan uang 660.000 dolar AS di tangan. Urip adalah Ketua Tim Jaksa Penyelidik Kasus BLBI yang melibatkan pengusaha besar Sjamsul Nursalim. Kejaksaan menghentikan penyelidikan tersebut melalui Jaksa Agung Muda Kemas Yahya Rahman pada tanggal 29 Februari 2008. Percakapan antara Artalyta, Urip dan Kemas yang disadap oleh KPK menunjukkan adanya suap dan keterlibatan Artalyta dalam penghentian kasus BLBI tersebut. Dalam pengadilan Artalyta mengaku tidak bersalah, dan menyatakan uang tersebut merupakan bantuan untuk usaha bengkel Urip. Majelis Hakim menolak pengakuan tidak bersalah Artalyta, dan menilai perbuatan Artalyta telah mencederai penegakan hukum di Indonesia. Majelis Hakim juga menganggap kenyataan bahwa Artalyta tidak mengakui kesalahannya serta memberikan pernyataan yang berbelit-belit di pengadilan sebagai hal yang memberatkannya. Majelis Hakim menjatuhkan vonis penjara lima tahun serta denda 250 juta rupiah kepada Artalyta, sesuai tuntutan jaksa dan hukuman maksimal untuk penyuapan pejabat negara dalam undang-undang.

Proses hukum Artalyta Suryani dalam kasus penyuapan Jaksa BLBI

21 Mei 2008
Artalyta Suryani, diancam hukuman penjara maksimal lima tahun dan minimal satu tahun, dalam dakwaan primer jaksa.

18 Juni 2008
Sidang tindak pidana korupsi dengan terdakwa Artalyta Suryani kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Agenda siang ini masih mendengar keterangan saksi yaitu staf pegawai Kejaksaan Agung bernama Paino dan rekan Artalyta Suryani yang bernama Romulus Pranata.

14 Juli 2008
Dalam persidangan, Artalyta membantah rekaman suara yang selama ini diperdengarkan sebagai suaranya.

18 Juli 2008
JPU menolak pembelaan yang diajukan Artalyta.

21 Juli 2008
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) hari ini kembali menyidangkan Arhalyta Suryani sebagai terdakwa dalam kasus suap terhadap Jaksa Urip Tri Gunawan dengan agenda pembacaan duplik atau pembelaaan atas replik Jaksa Penuntut Umum Artalyta. Saat hadir di ruang persidangan pagi tadi Artalyta tampak lesu.

29 Juli 2008
Terdakwa penyuap Jaksa Urip Tri Gunawan, Artalyta Suryani, dihukum sesuai tuntutan jaksa, yaitu selama lima tahun, dan denda Rp 250 juta, oleh Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Ketua Majelis Hakim Mansyurdin Chaniago bersama empat hakim lainnya menyatakan tidak ada alasan yang meringankan dari perbuatan Artalyta. Mereka menilai perbuatan wanita yang biasa disapa Ayin itu telah mencederai tatanan penegakan hukum di Indonesia. Terdakwa juga tidak mengakui kesalahannya serta memberikan keterangan yang berbelit-belit yang memberatkan hukuman.

4 November 2008
Pengadilan Tinggi Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menambah hukuman Artalyta Suryani lima bulan kurungan dari sebelumnya lima tahun penjara dan denda Rp. 250 juta menjadi lima tahun penjara dan denda Rp. 250 juta subsider lima bulan kurungan

21 Februari 2009
Artalyta Suryani, tetap divonis lima tahun penjara oleh Mahkamah Agung (MA). Majelis hakim MA menolak upaya hukum kasasi yang diajukan Artalyta. Ketua majelis hakim Artidjo Alkotsar di Jakarta. Putusan tersebut menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Tipikor yang menghukum Artalyta lima tahun penjara dan denda Rp250 juta subsider lima bulan kurungan.

Rekaman penyadapan

Rekaman percakapan Artalyta dengan para jaksa yang disadap oleh KPK menarik banyak perhatian publik. Percakapan tersebut diputar berulang-ulang di media elektronik, dicetak di media cetak, serta bahkan dijadikan nada dering telepon genggam.

Kasus Korupsi Muhammad Syakir

KASUS KORUPSI MUHAMMAD SYAKIR 



Muhammad Syakir, Direktur PT Soegih Interjaya (SI), akhirnya didakwa karena memberi suap kepada mantan Direktur Pengolahan PT Pertamina Suroso Atmomartoyo. Syakir didakwa memberikan Suroso uang sebesar US$ 190.000 agar Suroso menyetujui perusahaan OCTEL melalui PT SI menjadi penyedia atau pemasok Tetraethyl Lead (TEL) untuk kebutuhan kilang-kilang minyak milik PT Pertamina periode Desember 2004 dan 2005.
Di tahun 1982, PT SI ditunjuk oleh OCTEL atau Innospec untuk menjadi agen tunggal penjualan TEL di Indonesia. TEL merupakan bahan tambahan agar mesin tidak berbunyi dan meningkatkan nilai oktan pada bahan bakar. Namun, penggunaannya memiliki racun yang tinggi sehingga memproduksi gas berbahaya bagi kesehatan. Di tahun 2003, OCTEL dan PT Pertamina menandatangani nota kesepahaman yang menyepakati pembelian TEL akan dilakukan dalam jangka waktu 2003 sampai September 2004. Saat itu, mereka sepakat membeli dengan harga US$ 9.975 per metrik ton.
Di waktu yang bersamaan, Pemerintah Indonesia sedang mencanangkan proyek langit biru yang salah satu programnya adalah penghapusan timbal (TEL) dalam bensin dan solar dalam negeri. Program yang direncanakan ini saat itu dinilai menghambat kelancaran kerjasama Innospec dan Pertamina yang terus menyalurkan TEL ke Indoneisa. Karena alasan itulah, Direktur PT SI lainnya, Willy Sebastian Liem mencari strategi untuk memperpanjang penggunaan TEL di Indonesia.
Strategi yang didapatkan yakni mengusahakan penggunaan Plutocen sebagai oktan alternatif. Hal ini diikuti permintaan imbalan sejumlah uang untuk para pejabat Pertamina dengan alasan perusahaan lain pemasok Plutocen kepada PT Pertamina juga memberikan imbalan yang setara. Di sisi lain, ada perusahaan pemasok TEL lain yakni TDS Chemical Co, Ltd yang memiliki harga penawaran yang lebih murah yakni US$ 9.250 per metrik ton. Willy kemudian berupaya agar TDS Chemical tidak mendapatkan kontrak pengadaan TEL untuk kilang-kilang Pertamina.
Pada Juli 2004, Syakir melakukan negosiasi harga dengan direksi PT Pertamina, termasuk Suroso berkaitan dengan masa nota kesepahaman antara OCTEL dan PT Pertamina yang akan berakhir. Dalam negosiasi itu, PT SI menolak menurunkan harga ke 9.250 per metrik ton. Setelah diangkat sebagai Direktur Pengolahan PT Pertamina yang berwenang menandatangani dan menyetujui pembelian TEL, Suroso diberi sejumlah uang oleh CEO OCTEL, Paul Jennings atas saran dari Willy yakni sebesar US$ 500 per metrik ton untuk pesanan yang diterima sebelum akhir tahun 2004 dengan harga US$ 11.000 per metrik ton sampai maksimum 450 metrik ton.
Suroso kemudian memperoleh total US$ 225.000. Akhir Desember 2004, PT SI dan Pertamina melakukan negosiasi harga TEL untuk kebutuhan Pertamina pada bulan Desember 2004 dengan harga 10.750 dollar AS per metrik ton. Padahal, harga sebelumnya 9.975 dollar AS per metrik ton. Berdasarkan surat dakwaan, Willy membuka rekening atas nama Suroso Atmomartoyo di United Overseas Bank (UOB) Singapura untuk mengirimkan uang fee hasil penjualan TEL oleh PT SI ke rekening tersebut sebesar 190.000 dollar AS.
Atas perbuatannya, Syakir dijerat Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Kasus korupsi hambalang

Penyelidikan KPK atas dugaan adanya aliran dana proyek Hambalang dilakukan mulai pertengahan 2012. KPK telah menetapkan sejumlah tersangka, diantaranya yakni Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) Kabinet Indonesia Bersatu II, Andi Alfian Mallarangeng, serta Kepala Biro Keuangan dan Rumah Tangga Kemenpora Deddy Kusdinar. Belakangan, KPK berhasil mengungkap keterlibatan Anas Urbaningrum berdasarkan kesaksian mantan bendahara Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin.
Dalam berbagai kesempatan, Nazaruddin mengaku uang hasil dugaan korupsi proyek tersebut digunakan untuk biaya pemenangan Anas dalam Kongres Partai Demokrat di Bandung pada 2010 lalu. Anas sempat membantah telah menerima hadiah berupauang, barang, dan fasilitas senilai Rp 116, 8miliar dan US$ 5,26 juta. Dia juga berulang kali menyebut dirinya sebagai pihak yang dikorbankan.
Namun demikian, dalam persidangan pada awal 2014, pria kelahiran 1969 ini terbukti menerima hadiah dari berbagai proyek pemerintah serta melakukan pencucian uang dengan membeli rumah di Jakarta dan sepetak lahan di Yogyakarta senilai Rp 20,8 miliar. Anas juga disebut menyamarkan asetnya berupa tambang di Kutai Timur, Kalimantan Timur. Amar putusan majelis hakim juga mengungkapkan, uang yang diperoleh Anas sebagian disimpan di Permai Group untuk digunakan sebagai dana pemenangan untuk posisi Ketua Partai Demokrat.
Atas kesalahannya tersebut, Anas Urbaningrum divonis hukuman 8 tahun pidana penjara serta pidana denda sebesar Rp300 juta dan keharusan membayar uang pengganti kerugian negara sedikitnya Rp 57,5 miliar. Putusan ini berbeda dengan tuntutan jaksa yang menuntut Anas dihukum 15 tahun penjara, membayar uang pengganti Rp 94,18 miliar, serta mencabut hak politiknya.

Thursday, November 17, 2016

Kasus Korupsi Gayus Tambunan


Kasus Korupsi Gayus Tambunan



Latar Belakang. Gayus Halomoan Partahanan Tambunan atau biasa disebut Gayus Tambunan (lahir di Jakarta, 9 Mei 1979; umur 37 tahun) adalah mantan pegawai negeri sipil di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Indonesia. Gayus besar dan lahir di Warakas, Jakarta Utara. Dia anak kedua dari 5 bersaudara , putra dari Amir Syarifuddin Tambunan. Gayus menikah dengan Milana Anggraeni dan mempunyai lima orang anak.

Pada dakwaan pertama, Gayus dijerat terkait perbuatannya mengurangi keberatan pajak PT Surya Alam Tunggal dengan total Rp570.952.000.Gayus diduga melakukan itu secara bersama-sama dengan Penelaah Keberatan dan Banding, Humala Setia Leonardo Napitupulu; Kepala Seksi Pengurangan dan Keberatan I, Maruli Pandapotan Manurung; Kepala Sub Direktorat Pengurangan dan Keberatan, Johnny Marihot Tobing; dan Direktur Keberatan dan Banding, Bambang Heru Ismiarso.

Pada dakwaan kedua,Gayus terbukti menerima suap Rp 925 juta dari Roberto Santonius, konsultan pajak, terkait dengan kepengurusan gugatan keberatan pajak PT. Metropolitan Retailmart. Mantan pegawai pajak itu juga menerima uang US$ 3,5 juta atau sekitar Rp 31,5 miliar dari Alif Kuncoro, perantara penerima order dari tiga perusahaan Grup Bakrie, yakni PT Kaltim Prima Coal, PT Arutmin, dan PT Bumi Resource. Adapun pemerincian pemberian uang dari Alif itu, sebesar US$ 1 juta atau sekitar Rp 9 miliar, terkait dengan pembuatan surat permohonan banding dan surat bantahan pajak untuk PT Bumi Resource. Ada lagi uang US$ 500 ribu (Rp 4,5 miliar) terkait dengan kepengurusan Surat Ketetapan Pajak PT Kaltim Prima Coal pada 2001-2005. Lalu uang sebesar US$ 2 juta (Rp 18 miliar) untuk mengupayakan PT Kaltim Prima Coal dan PT Arutmin mendapat fasilitas sunset policy.

Pada dakwaan ketiga,Gayus terbukti melakukan pencucian uang terkait dengan penyimpanan uang miliknya yang berasal dari hasil tindak pidana ke dalam safe deposit box Bank Mandiri cabang Kelapa Gading serta ke berbagai rekening di beberapa bank.

Pada dakwaan keempat, Gayus menyuap sejumlah petugas Rumah Tahanan Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, serta Kepala Rutan Iwan Siswanto antara Rp 1,5-4 juta. Tujuan suap itu agar Gayus dapat bebas ke luar tahanan dan menonton pertandingan tenis internasional di Bali. Selain itu,Gayus didakwa telah memberikan uang sebesar 40 ribu dollar AS kepada Hakim Muhtadi Asnun agar membebaskan dirinya dari jeratan hukum.

Dakwaan lain menyebutkan bahwa Gayus memberikan keterangan palsu kepada Penyidik perihal uang sebesar 24,6 M di dalam Rekening Tabungannya serta membuat perjanjian baru dengan Andi Kosasih untuk membuka rekening banknya yang telah di blokir. Gayus juga diperhentikan dari pekerjaannya secara tidak hormat.

Gayus ditangkap pada Selasa 30 Maret 2010, Tersangka skandal pajak yang menjadi buronan Mabes Polri ditangkap bersama keluarganya di Hotel Mandarin Orchard kawasan Orchid Road, Singapura. Tak hanya Gayus, polisi juga mengamankan Meliana Anngraeni, istri Gayus dan anaknya yang ikut dalam pelarian ke Singapura. Tim Mabes Polri melakukan penangkapan bersama dengan tim independen. Dalam penangkapan ini, selain tim Polri pimpinan Kombes M Iriawan, tim independen dari Kompolnas dan Kabareskrim Polri Komisaris Jenderal Ito Sumardi juga ikut mengawasi penangkapan ini. Menyusul untuk memastikan penangkapan itu adalah tim dari Satgas Pemberantasan Mafia Hukum Denny Indrayana dan Mas Achmad Santosa.

Sidang Akhir Gayus. Gayus terdakwa kasus penggelapan pajak Gayus Tambunan akhirnya menerima keputusan akhir dari Hakim Pengadilan Negeri Jakarta. Gayus dihukum 8 tahun penjara dan denda sebesar Rp. 300 juta dengan ketentuan apabila denda tidak dibayarkan diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan. Vonis yang dijatuhkan atas Gayus jauh dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang menuntut hukuman 20 tahun penjara ditambah denda sebesar Rp. 500 juta.

Jeratan Hukuman. Vonis pengadilan menyatakan bahwa Gayus terjerat 4 pasal berlapis yaitu korupsi, suap,penggelapan dan pencucian uang. Adapun pasal–pasal yang menjerat yaitu sebagai berikut:

Pertama, Gayus dijerat dengan Pasal 3 Jo Pasal 18 UU No 31/1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi (Tipikor). Dia diduga memperkaya diri sendiri. Gayus telah merugikan keuangan negara sebesar RP 570.952.000, terkait penanganan keberatan pajak PT Surya Alam Tunggal Sidoarjo.

Kedua, Gayus dijerat dengan Pasal 5 ayat 1 huruf a No 31/1999 Tindak Pidana Korupsi. Dia dituding melakukan penyuapan sebesar 760 ribu dolar terhadap penyidik Mabes Polri M Arafat Enanie, Sri Sumartini, dan Mardiyani.

Ketiga, Gayus dijerat pasal 6 ayat 1 huruf a No 31/1999 tindak pidana korupsi karena telah memberikan sejumlah uang sebesar 40.000 dolar AS kepada Hakim Muhtadi Asnun, Ketua Majelis Hakim yang menangani perkara Gayus di Pengadilan Negeri Tangerang.

Keempat, Gayus dijerat dengan Pasal 22 Jo Pasal 22No 31/1999 Undang-undang tindak pidana korupsi. Gayus didakwa telah dengan sengaja memberi keterangan yang tidak benar untuk kepentingan penyidikan.

Potensi Kerugian. Dalam kasus korupsi terkait Mafia Pajak Gayus Tambunan Audit investivigasi gabungan menemukan dugaan pelanggaran yaitu tindakan memperkaya diri atau Korupsi sehingga mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp. 646 miliar dan US$21,1 juta dan dua wajib pajak terkait sunset policy dengan potensi kerugian negara Rp. 339 miliar.

Kronologis Kasus Korupsi Papa Minta Saham Setya Novanto



16 November 2015

Menteri energi dan sumber daya mineral Sudirman Said melaporkan Setya Novanto ke mahkamah kehormatan dewan. Dikatakannya bahwa Setya Novanto bersama dengan seorang pengusaha telah beberapa kali memanggil serta melakukan pertemuan dengan pimpinan PT Freeport Indonesia.

23 November 2015

Mahkamah Kehormatan Dewan akan menggelar sidang pertama dugaan ketua DPR Setya Novanto (Setnov) memalak 20 persen saham perseroan dan meminta jatah 49 persen saham proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Urumuka, Papua pada PT Freeport Indonesia dengan mencatut nama Presiden Joko Widodo) dan Wapres Jusuf Kalla , hari ini. Dalam sidang pertama itu, Wakil Ketua Mahkamah kehormatan dewan Junimart Girsang akan menguatkan usulan agar sidang perkara Setnov bisa digelar secara terbuka.

3 Desember 2015

Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin dicecar habis-habisan oleh anggota MKD. Dalam sidang tersebut, Maroef yang memiliki latar belakang militer itu ditanya soal kerja utamanya di perusahaan asal Amerika Serrikat itu.

Anggota MKD Akbar Faizal awalnya bertanya apakah Maroef pernah menduduki jabatan lain selain di kemiliteran sebelum jadi bos Freeport. Hal ini karena tiba-tiba seorang Waka BIN bisa duduk menjadi CEO di sebuah perusahaan multinasional sekelas Freeport.
Pengusaha Riza Chalid mangkir dari pemanggilan Mahkamah Kehormatan Dewan DPR dalam persidangan skandal pencatutan nama Presiden Joko Widodo yang diduga dilakukan oleh Ketua DPR Setya Novanto.

Wakil Ketua ahkaah kehormatan dewan Junimart Girsang menyatakan apabila Riza kembali mangkir dari pemanggilan yang kedua kalinya, maka pihaknya akan melakukan pemanggilan paksa.
Junimart menjelaskan Pemanggilan paksa tersebut sesuai tata beracara di mahkamah kehormatan dewan adalah dengan meminta bantuan pihak Kepolisian. Meski demikian, dia menyatakan pihaknya belum dapat memastikan kapan waktu kedua pemanggilan itu.
Riza Chalid diketahui seharusnya menjadi pihak terpanggil oleh mahkamah kehormatan dewan dalam persidangan yang digelar, Kamis (3/12) bersamaan dengan persidangan Maroef Sjamsoeddin.
Namun, sampai persidangan sudah berjalan setengah jalan, sosok yang disebut Menteri ESDM Sudirman Said tak menampakkan diri di Kompleks Parlemen, Senayan.
7 Desember 2015
Sidang pelanggaran etika diselenggarakan secara tertutup. Di siding ini, Setya Novanto mempermasalahkan pihak yang melaporkannya ke mahkamah kehormatan dewan tentang posisinya secara hokum dan tentang pembicaraannya bersama presiden direktur PT Freeport Indonesia dan pengusaha Riza Chalid dan berkata bahwa rekaman itu tidak sah.
14 Desember 2015

Menko Polhukam, Luhut Binsar Pandjaitan, masih memberikan keterangan di hadapan majelis Mahkamah Kehormatan Dewan soal dugaan pelanggaran etik Ketua DPR, Setya Novanto. Luhut ditanya seputar isi rekaman yang namanya disebut sebanyak 66 kali.

Beberapa pertanyaan anggota Mahkamah langsung dijawab tegas Luhut. Luhut juga tak segan menjawab ketus pertanyaan yang dianggapnya tak substantif.

Seperti saat ditanya anggota Mahkamah kehormatan dewan dari Fraksi PAN, A Bakri. Bakri bertanya soal pembicaraan Luhut yang mengaku bertemu dengan Jokowi tadi malam.

16 Desember 2015

Mahkamah Kehormatan Dewan memastikan Setya Novanto mundur dari jabatan Ketua DPR. Keputusan itu terhitung dimulai hari ini.
Hal itu dibacakan Ketua mahkamah kehormatan dewan Surahman Hidayat dalam sidang putusan pelanggaran etika Setya.

"Terhitung sejak Rabu 16 Desember 2015, dinyatakan berhenti dari ketua DPR periode 2014-2019," kata Surahman di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (16/12).

Setya Novanto menyerahkan surat pengunduran diri sebagai ketua DPR ke Mahkamah Kehormatan Dewan . Hasil sidang, 10 anggota MKD memberikan sanksi sedang, sedangkan 7 anggota meminta sanksi berat.